Rabu, 22 Oktober 2008

Press Release

Dalam rangka memperkuat gerakan, Jaringan Islam Kampus (Jarik) Semarang, sebuah komunitas berbasis kampus, berskala nasional, yang konsen dalam kajian intelektual, mengajak kepada para mahasiswa untuk mengikuti pelatihan dasar (Workshop/Basic Training) yang akan dilaksanakan pada 7-9 November 2008, di lokasi pegunungan Bandungan Semarang.


Semua mahasiswa berlatar belakang universitas dan fakultas apapun bisa mengikuti pelatihan tersebut, dengan memenuhi syarat-syarat berikut:

  1. Membuat tulisan bertema “Politisasi Agama dalam Konteks Kebangsaan”, sepanjang dua halaman spasi 1 (+ 6000-7000 karakter). Dikirimkan paling lambat 30 Oktober 2008 via email: jariksemarang@gmail.com dan nasrudin86@gmail.com

  2. Melampirkan CV lengkap (No. Hp, alamat, pengalaman organisasi dan riwayat pendidikan: formal maupun non-formal disertai juga motivasi mengikuti Pelatihan Jarik Semarang).

  3. Mengikuti screening pada 1 November di belakang perpustakaan kampus III IAIN Walisongo Semarang.


Hanya peserta yang memenuhi kriteria tersebut yang berhak mengikuti pelatihan. Itupun terbatas 25 mahasiswa (maksimal semester lima). Panitia menyediakan akomodasi dan jasa transportasi. Adapun materi-materi, buku modul dan jadwal pelatihan akan diberitahukan lebih lanjut. Keterangan lengkap, hubungi Abdalla (085 226 228 507) dan Nasruddin (081 542 036 039).


Jumat, 05 September 2008

Tadarus Ramadhan Jarik Semarang

Sepanjang bulan Ramadhan ini, Jarik Semarang bekerja sama dengan LPM Justisia dan LPM Idea melaksanakan serangkaian tadarus Ramadan dan buka bersama. Acara ini dilaksanakan di dua tempat, Ex Laboratorium Fak. Ushuludin dan Gedung M3 Fak. Syariah IAIN Walisongo Semarang.

Acara ini dimaksudkan sebagai ajang perkenalan Jarik Semarang yang baru akan berdiri. Ini adalah "pemanasan" sebelum pelaksanaan Basic Training Jarik Semarang kali pertama pada November mendatang. Bagi yang berminat silahkan bergabung dengan menghubungi Jarik Semarang pada Nasrudin 081 542 036 039 dan Abdalla 085 226 228 507.

Berikut jadwal lengkapnya.

NO

HARI

TEMA

ABSTRAKSI

PEMBICARA

PENELAAH

TEMPAT

1

Kamis, 11 September 15:30 WIB

Pengantar Ushul Fiqh

Relasi Ushul Fiqh, Tafsir, dan filsafat dalam Istinbath di dunia modern.

Yayan Royani (Sekred Justisia)

Abdullah Badri (Pimred Idea)

Dr. Abu Hapsin, MA

(Dosen Ushul Fiqh Kontemporer)

Gdg M 3

F. Syari’ah

2

Selasa, 16 September

15:30 WIB

Ushul Fiqh Umar bn Khatab

Metodologi Ijtihad Umar bn Khatab.

Nalar Umar keluar mainstream.

Umar membiarkan ayat potong tangan diam tak berfungsi

Hamdani (Direktur KSMW)

M. Shoufa (Redaktur Idea)

Drs. Muhyidin, M.Ag

(Dekan Fak. Syariah)

Ex Laboratorium F. Ushuludin IAIN Walisongo

3

Kamis, 18 September

15:30 WIB

Agama, Kekerasan, dan Kemaslahatan

Kekerasan dalam Narasi Agama

M. Nasrudin (PU Justisia)

Zaenal Abidin (PU Idea)

Muhsin Jamil, MA.

(Ketua Puslit IAIN Walisongo)

Gdg M 3

F. Syari’ah

4

Selasa, 23 September

15:30 WIB

Ushul Fiqh Shahrour (Teori Limit)

Aplikasi Teori Limit dan Ijtihad:

Peluang dan Tantangannya di Era Modern.

Fardan MI (Idea)

Ubaidul Adzkiya’ (Justisia)

Dr. Muhyar Fanani

(Penulis Disertasi Terbaik versi DEPAG tentang Sahrour)

Ex Laboratorium F. Ushuludin

Tirani dalam Keragaman Tafsir

Oleh: M. Abdullah Badri

Keragaman tafsir yang ada dalam Islam jika tidak di sikapi dengan bijak dan arif sudah pasti akan menimbulkan gesekan sosial. Demikian karena Islam tidak bisa dilepaskan dari kekayaan dan keragaman interpretasi para ulama’. Bahkan, ruh Islam berada pada semangat mencari kebenaran yang terartikulasi dalam kekayaan interpretasi. Itu bisa ditunjukkan dengan dilahirkannya beberapa karya literatur sarjana muslim dalam berbagai bidang.

Kita bisa melihat, ketika membicarakan al-Qur’an, Islam kaya dengan ragam tafsir dari kaum cerdas cendekianya, sesuai sudut pandang dan latar belakang pendidikan dan kondisi sosial-politik masing-masing.

Ada yang mengkaji al-Qur’an dari sudut pandang sastra, seperti Tafsirnya al-Zamakhsary, seorang ulama’ Mu’tazilah. Ada pula yang membidik Sains al-Qur’an, seperti yang ditulis Thantawi Jauhari dan Harun Yahya. Karya tafsir yang paling banyak adalah yang mengkaji dari sudut panjang sosial, seperti karya mufassir reformis-kontemporer semisal Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, dan di Indonesia ada Hamka dan Quraish Syihab.

Dari disiplin ilmu yurispundensi Islam, atau yang biasa disebut Ilmu Fiqih, kita akan disuguhkan khazanah Islam yang lebih kaya lagi. Bahkan saking kayanya akan interpretasi dalam bidang ini, ada sebuah adagium terkenal dikalangan Ulama’ Ahli Fiqh (Fuqaha’), salah satunya yang terkenal adalah La Fiqha Illa fihi ikhtilaf (Tidak dikatakan fiqh jika tidak ada perselisihan). Seakan menandakan bahwa rumus ilmu fiqh adalah perselisihan.

Dikatakan pula bahwa konsistensi fiqh ada pada inkonsistensinya. Sebab ia selalu up to date, disesuaikan dengan latar zaman dan lingkungan. Dulu, pada zaman kolonial, memakai celana dan jas berdasi mendapat fatwa haram dari para ulama’ karena menyerupai orang-orang Kristen Kolonial-Belanda yang menindas rakyat. Namun larangan itu kini tidak berlaku lagi.

Alasan fatwa haram itu sudah hilang semenjak kaum penjajah terusir dari Indonesia. Fatwa haram dikeluarkan untuk menumbuhkan rasa nasionalisme bangsa Indonesia demi mengusir Belanda.

Islam tidak mengatur secara khusus dalam berbusana. Hanya memberi batasan umum bahwa yang diperlukan dalam berbusana adalah menutup aurat. Adapun model dan jenisnya ditentukan sesuai adat sekitar yang berlaku. Disinilah, keragaman tafsir dari ketentuan-ketentuan umum dalam Islam menjadi hal yang tak terelakkan.

Menghargai Perbedaan

Islam sangat menghargai perbedaan. Setiap orang berhak memiliki penafsiran tentang Islam sesuai dengan latar belakang masing-masing. Tidak ada yang berhak menghegemoni satu pemahaman tertentu. Kekuasaan tunggal dalam penafsiran hanya akan melahirkan tirani-tirani. Sehingga, pengelolaan akan perbedaan menjadi penting agar tidak terjadi hegemoni tafsir. Pengelolaan Islam akan perbedaan itu bisa kita saksikan dalam jargon Ikhtilaful Aimmah Rahmah (Perselisihan Para Imam adalah Rahmat).

Mengenai tafsir atau interpretasi, dalam triodik Hermenutika Nasr Hamid Abu Zaid yang terdiri atas Tujuan, Teks dan Tafsir, menjelaskan bahwa eksistensi teks berdiri secara penuh, tidak ada intervensi dari pengarang maupun penafsir. Karena, tujuan dari pengarang bisa jadi berbeda dengan interpretasi penafsir. Artinya, kepentingan teks disini bukan semata-mata ditentukan oleh pengarang, namun juga penafsir. Tentu, sesuai dengan kepentingan dan latar belakang pengalaman dan pemahaman dari penafsir, bukan dari pengarang.

Dengan leluasa penafsir menginterpretasi teks yang ada dihadapannya, kendati jauh dari yang dimaksudkan pengarang. Disinilah kepentingan penafsiran dapat dibaca. Lepasnya pengarang dari teks yang telah ditulis pada akhirnya mengakibatkan keragaman pemahaman yang tidak bisa dihindari dari banyak penafsir. Tidak yang dapat kita lakukan disini kecuali mengahargai, demi menghindari konflik.

Tirani Tafsir

Ahmadiyah, Lia Eden dan al-Qiyadah, begitu juga dengan komunitas lain yang berbeda pemahaman dengan kelompok mayoritas, berusaha menafsirkan teks utama Islam demi mencari kebenaran. Namun usaha mereka ketika mencapai kesimpulan yang berbeda, terjadi tirani. Atribut sesat, kafir dan murtad dilekatkan kepada mereka.

Pertanyaannya adalah, apakah penafsiran Ahmadiyah, Lia Eden, Al-Qiyadah dkk. merupakan kepentingan atau sekedar mencari kebenaran dari ketidakpuasan mereka terhadap agama konvensional yang selama ini mereka ikuti? Sulit membedakan. Sangat tipis perbedaannya, antara kepentingan dan pemahaman. Tidak bisa diposisikan diametral. Dan memang tidak perlu.

Yang perlu kita lakukan adalah mencoba menghargai dan memahami mereka. Toh mereka juga sama-sama dalam rangka mencari kebenaran, meskipun dibalut kepentingan “luar”. Mempermasalahkan mereka hanya akan membuang energi. Biarkan saja. Waktu yang akan menentukan. Diterima masyarakat atau tidak.

Selama tidak bertendensi politik untuk merenggut keutuhan NKRI tidak ada alasan untuk merepresi mereka. Karena penafsiran teologis itu sangat privatif, pribadi. Tidak ada hak bagi siapapun untuk merenggut hak mereka, termasuk negara.

Sebaliknya, yang perlu diwaspadai adalah kelompok radikal yang cenderung mengancam keutuhan NKRI dengan melakukan kekerasan, baik fisik maupun simbolik, kepada golongan yang berbeda paham dengan mengatasnamakan Tuhan.

Hanya golongan seperti HTI, MMI, FPI dkk. yang menginginkan tafsir seragam. Mereka itulah yang akan membangun tirani dalam demokratisasi kehidupan berbangsa. Merekalah yang tidak mampu memahami dengan bijak keragaman tafsir dalam Islam, sehingga sering menimbulkan kekacauan sosial yang justru memperburuk citra Islam sendiri.

SKB: Surat Kekerasan Bersama (?)

M. Nasrudin

ADA orang Semarang bertujuan ke Jakarta, tapi ternyata tersesat ke Surabaya, masak kita yang tahu bahwa orang itu sesat menempelenginya. Aneh dan lucu. Demikian komentar KH Musthofa Bisri alias Gus Mus menanggapi maraknya kekerasan atas JAI (Jemaat Ahmadiyah Indonesia) belakangan ini.

Inilah negeri sejuta keanehan. Bakor Pakem (Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat), lembaga ekstrajudisial pada 16/04 memutuskan JAI tidak mengindahkan 12 butir pernyataan PB (Pengurus Besar) JAI yang dibuat 14/01 lalu. Karena meresahkan, Bakor ini merekomendasikan agar dibuatkan SKB 3 Menteri untuk memerintahkan Ahmadiyah agar menghentikan kegiatan, sesuai UU No.1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan atau Penodaan Agama.

Sebelumnya, MUI juga menyatakan hal senada. Baik MUI maupun Bakor Pakem meminta pemerintah untuk ’’menyelesaikan” JAI dengan jalur konstitusi yang justru tidak konstitusional. Bila JAI tidak mengindahkan, mereka meminta pemerintah membubarkan JAI. Dan kini, pemerintah yang diwakili Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung berniat membuat SKB (Surat Keputusan Bersama).

Beberapa elemen yang mengaku umat Islam berharap SKB segera terbit. Sehingga, aparat bisa mengambil langkah yang jelas dan tegas dalam menindaknya. Di antara mereka ada Forum Umat Islam, MUI, dan FPI. Wapres menegaskan SKB sebagai solusi penengah. Sedang Ketua MPR RI meminta JAI menukar keyakinan mereka.

Di sisi lain, berbagai elemen menolak SKB tersebut. AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) beserta elemen lain long march di Bundaran HI Jakarta, Selasa (06/05) lalu, setelah sebelumnya mengadu ke PBB. Pada hari yang sama, aksi juga digelar di Jogjakarta dan Bandung. Mereka menolak SKB tersebut karena melanggar HAM, kebebasan berkeyakinan, dan berekspresi. Puluhan Kyai NU di Jawa juga menolak SKB tersebut dan mengadu kepada DPR RI.

Sampai tulisan ini dibuat setidaknya sudah dua kali penerbitan SKB 3 Menteri diundur, pada 22 April dan Selasa (06/05) lalu. Sementara, JAI makin yakin SKB ini tidak akan diterbitkan. Karena, desakan berbagai kalangan untuk membatalkan SKB kian menguat. Hanya 1 dari 9 anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang mendukung pengesahan SKB ini, yakni Makruf Amin, petinggi di MUI.

Rakyat imajiner
Yang menjadi pertanyaan adalah di mana posisi dan peran negara? Kita bisa menyatakan bahwa negara merupakan organisasi tertinggi yang berdaulat. Ia mengatasi segala golongan primordial. Negara menjadi penjaga malam, pengatur, dan pengayom seluruh rakyatnya.

Lalu, siapa yang disebut rakyat? Rakyat, juga umat dalam sebuah negara merupakan makhluk imajiner yang hanya bisa dibayangkan, tidak pernah mewujud dalam kondisi nyata. Hal ini beralasan, mengingat rakyat tak lebih dari sekadar khayalan yang lebih sering dijadikan ’’atas nama”.

Dalam kasus JAI, banyak orang mengatasnamakan rakyat, umat Islam yang dinodai agamanya. Mereka kemudian marah dan melakukan kekerasan terhadap JAI. Mereka merusak Kompleks Kampus Mubarok di Parung, Bogor. Desember lalu, mereka menyegel mesjid di Manislor, Kuningan. 28 April lalu, mereka membakar mesjid JAI di Sukabumi. Ketegangan lain juga memuncak di berbagai konsentrasi JAI di Surabaya, Semarang, dan Mataram.

Nyatanya, seolah-olah negara justru menetapkan predikat rakyat hanya kepada mereka yang ’’merasa” agamanya dinodai, yang justru melakukan berbagai perusakan dan kekerasan. Padahal, sesungguhnya mereka tak lebih dari vocal minority , kaum minoritas yang vokal dengan pekikan ’’Allahu Akbar!” yang mereka kurang paham artinya.

Inilah satu sebab pemerintah menggelar pertemuan antara Menag, Mendagri, dan Jaksa Agung untuk membahas SKB tersebut sebagai pemenuhan rekomendasi Bakor Pakem. Celakanya, publik melihat Bakor Pakem sebagai lembaga warisan Orba yang bermain di wilayah ideological state untuk mengatur gerakan agama dan kepercayaan.

Nah, belakangan rupanya pemerintah ragu untuk benar-benar serius menuntaskan pembahasan SKB tersebut. Karena, kian banyak elemen masyarakat yang dulunya diam ( silent minority ) kini angkat bicara. Mereka menuntut agar SKB tersebut tidak diterbitkan. Kekhawatiran dan kegelisahan publik amat wajar lantaran tanpa SKB saja, banyak elemen yang melakukan kekerasan atas JAI.

Apalagi, ketika ada SKB yang secara tegas menghentikan kegiatan JAI, maka mereka yang melakukan kekerasan itu seolah mendapat suntikan energi dan legitimasi untuk melakukan kekerasan atas JAI. Dan, kekisruhan akan terjadi dari kota hingga pelosok desa-desa di Nusantara yang terdapat komunitas JAI.

Negara, dalam hal ini tidak hanya melakukan pelanggaran melanggar HAM berat. Negara bertindak inkonstitusional dengan melanggar UUD 1945 pasal 29 ayat (2), pasal 28 E ayat (2); UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia; dan UU No. 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang kesemuanya menjamin dan melindungi warga negara dalam beribadah dan berkeyakinan.

Di sini, negara seolah memberikan ’’legitimasi konstitusional” untuk melakukan kekerasan terhadap warganya sendiri. Bahkan, kekerasan ini dilakukan secara sistemik dan terstruktur rapi. Jelas ini persoalan serius, yang bagi sebagian kalangan lain bisa terjadi internasionalisasi isu JAI.

Karenanya, kita perlu menggeser paradigma kita tentang JAI. Mereka adalah orang Indonesia yang secara kebetulan menganut Ahmadiyah, bukan orang JAI yang tinggal di Indonesia. Maka, benar pula ungkapan Gus Dur bahwa kita adalah orang Indonesia yang beragama Islam, bukan orang Islam yang tinggal di Indonesia.

Sebagai WNI, umat JAI berhak tinggal layak di Indonesia, bebas berkeyakinan dan beribadah tanpa gangguan. Boleh jadi JAI berada di luar Islam. Tapi, itu bukan alasan untuk melakukan kekerasan kepada mereka. Terlebih, NKRI sebagaimana ditegaskan dalam UUD, adalah negara rechstaat , berdasarkan hukum, tidak berdasarkan kekuasaan semata-mata ( machstaat ).

Negara, karenanya, dalam bertindak jangan sampai keluar dari koridor hukum. Dalam bingkai demokrasi menurut Sadiq Jawar Sulaiman, setidaknya ada empat pilar yang harus tegak. Yakni, minority right (hak minoritas), freedom of spech (kebebasan bersuara), freedom of expression (kebebasan berekspresi), dan majority rule (kekuasaan mayoritas).

Bila SKB benar-benar dikeluarkan dengan isi memerintahkan pembubaran JAI, maka dapat dipastikan, tiga pilar pertama di atas runtuh seketika. Dan, rasa-rasanya Indonesia mungkin tak lagi menjadi negara demokrasi. Eksekusi JAI ini mirip dengan eksekusi Socrates, yang menurut Farid Zakaria, meski tampak demokratis, tapi ini tidak bebas (illiberal). Bukan tidak mungkin, 100 tahun Kebangkitan Nasional yang akan kita peringati 20 Mei mendatang akan ternodai dengan Kekerasan Nasional.

Barangkali kita perlu membaca sejarah. Bahwa Muhammad SAW saja tidak berhasil mengislamkan Abu Thalib, pamannya sendiri. Lalu Tuhan berfirman: Sungguh! Kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki- Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk (QS al-Qashash: 58).

Tuhan juga pernah berpesan ’’ Fa man syaa’a fal yukmin, wa man syaa’a fal yakfur ”. Yang hendak beriman, silakan. Yang mau kafir, ya silakan. Allahu a’lam.

Source: Wawasan digital. Nasrudin

Selamat datang di jarik

ini adalah woblog jarik semarang. selamat membaca